K.H.R. Ahmad Azaim Ibrahimy menggagas komunitas Jamiyah Shalawat yang diberi nama Bhenning. Menjawab pertanyaan tentang asal usul nama Bhenning. Kiai Azaim menyampaikan bahwa ia terinspirasi bait kasidah shalawat mahallul qiyam salah satu karya sastra ulama terdahulu yaitu Hawdukas shafil  mubarrad wirduna yawman nusuri.
Dalam  bahasa Madura, Kiai Azaim menerjemahkan talagena ajunan cellep ben bhenning. Kiamat paghik abdina nyabis asanding (Telagamu sejuk dan bhenning. Kiamat nanti kami sowan bersanding). Sampai saat ini untaian sastra tersebut dijadikan jargon kebanggaan yang selalu dibawakan secara bersama-sama setiap acara berlangsung
IKLAN - LANJUTKAN MEMBACA DI BAWAH INI
Antusias masyarakat dari berbagai daerah terus bermunculan mengikuti Pengajian Bhenning. Setiap acara, ribuan orang memadati lapangan yang disediakan penyelenggara.  Mereka datang dengan biaya sendiri dan ciri khas masing-masing. Para Bhenning Mania (sapaan para pecintanya) senantiasa berinisiatif membuat komunitas sesuai desa masing-masing. Mereka juga berlomba-lomba membuat atribut sendiri-sendiri semisal seragam dan bendera.
Setiap pengajian dimanapun, Kiai Azaim memandu secara langsung jalannya acara. Acara biasanya dimulai dengan pembacaan Ratibul Haddad. Ratibul Haddad adalah wirid atau dzikir yang istiqamah dibaca setiap selesai salat berjamaah asar di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’yah Sukorejo Situbondo sejak masa K.H.R. Syamsul Arifin sebagai Pendiri dan Pengasuh pertama. Pondok itu berdiri pada tahun 1914. Bacaan Ratibul Haddad diteruskan oleh pengasuh setelahnya yaitu K.H.R. As’ad Syamsul Arifin sebagai pengasuh kedua. Pengasuh ketiga K.H.R. Ahmad Fawaid As’ad juga menjaga warisan pembacaan wirid yang dikarang Habib Abdillah Al Haddad dan sampai saat ini masih dipertahankan K.H.R. Ahmad Azaim.Ibrahimy sebagai pengasuh keempat. Kiai Azaim adalah cucu dari Kiai As’ad dari jalur ibu yaitu Nyai Hj. Zainiyah putri pertama Kiai As’ad.
Dalam wasiatnya yang fenomenal. Kiai As’ad berdawuh bagaimana Haddad itu istiqamah dibaca. Menurut mediator NU tersebut, diantara fadilah Haddad adalah jadi pagar kehidupan dari hal-hal yang buruk. Selain itu terhidar dari kekurangan. Kalau menjadi petani, hasil taninya tidak berkurang, kalau menjadi pedagang, dagangannya tidak berkurang, kalau punya santri, santrinya tidak berkurang dan seterusnya.
Pendek kata, bacaan Ratibul Haddad yang rutin dibaca mencegah dari kerugian. Tentu banyak fadilah lainnya selain yang dikemukakan di atas. Kiai Azaim juga menegaskan bahwa bacaan Haddad dan istighasah adalah sukmanya santri Sukorejo (Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo).
Unsur Drama dalam Bhenning
Jamiyah Shalawat Bhenning pada awal dibentuk hanya berupa pengajian kecil-kecilan yang dipimpin Kiai Azaim sebagai. Anggotanya hanya terbatas masyarakat sekitar pesantren. Dalam perjalanan, mengalami pasang surut. Untuk membuat daya tarik dimasukkan unsur kesenian khas pesantren yaitu hadrah. Ternyata hal itu mengalami nasib yang hampir hampir sama. Kemudian tercetus ide membuat pagelaran yang memadukan seni hadrah dan renungan. Pengajian itu diletakkan di mata Air Kranang. Tempat itu sempat populer karena sumber mata air yang ada dipercaya menjadi pelantara penyembuhan penyakit. Jamaah semakin bertambah. Melihat hal itu, Kiai Azaim berinisiatif memasukkan kesenian lain yaitu pentas puisi.
Putra Kiai Dhafir Munawwar itu meminta kesedian penggiat kesenian pesantren Zainul Walid dan beberapa penggiat kesenian untuk pentas seni. Pengajian di kecamatan Asembagus menjadi titik awal penampilan komunitas Tahlil Budaya. Mereka membawakan puisi semi drama. Jamaah semakin berdatangan dari berbagai daerah. Setelah penampilkan puisi dilakukan beberapa kali,ternyata hal itu dirasa kurang efektif karena mayoritas masyarakat yang hadir tidak semua paham dengan bahasa puisi. Muncullah inisiatif mengganti puisi dengan drama islami.
Hal itu disetujui Kiai Azaim. Sejak itu undangan berdatangan dari luar kabupaten. Drama menjadi bagian dari pengajian Bhenning setiap penampilannya terutama pengajian rutin bulanan. Zainul Walid mengatakan  bahwa bermain drama di Bhenning adalah berteater di tengah keterbatasan. Ia harus menyesuaikan naskah drama yang dikarang dengan rambu-rambu syariat Islam dan pesantren. Tak hanya itu, setiap drama yang dipentaskan harus terlebih dahulu diistiharai.
Dalam berdrama, semua pemain harus laki-laki dan tidak boleh perempuan atau laki-laki yang jadi perempuan. Kalau terpaksa ada perempuan hanya diperbolehkan suara dari bawa pentas. Durasi waktu yang disediakan juga terbatas yaitu sekitar 45 menit. Latihan harus ektra terutama ketika padatnya acara memenuhi undangan yang waktunya hampir bersamaan. Seringkali Zainul Walid semalam suntuk menulis naskah drama kemudian hanya beberapa kali latihan dan harus ditampilkan.
Tentu sutradara harus memeras otak dengan keterbatasan yang ada. Bagaimana dengan keterbatasan itu mampu menyuguhkan penampilan yang menarik dan mengesankan. Zainul Walid harus mengerahkan pemikiran dan tenaga ektra karena dia bukan hanya sutradara. Tapi juga pemain dan penulis naskah.
Dengan memasukkan drama dalam majelis shalawat. Ada nuansa baru dalam pengajian Bhenning. Kalau drama dipahami sebagai hiburan dan pelengkap kegiatan. Kiai Azaim menjadikan drama bagian penting dalam dakwah. Hal itu juga menguatkan identitas kesenian pesantren dan penggiatnya senantiasa berupaya memaduka estetika dan etika sehingga tidak bertentangan dengan norma syariat dan pesantren. Melalui Bhenning, Kiai Azaim ingin merangkul perbedaan. Perbedaan keyakinan, perbedaan pilihan politik, perbedaan tokoh panutan, perbedaan demi perbedaan lainya. Bhenning yang berarti jernih membuka tangan apapun warna yang ingin bersamanya. Bukan untuk saling mencemari tapi untuk saling melengkapi. (RM)