Posted by : nurizart
Jumat, 03 Januari 2020
ANALISIS
Debat Ma'ruf-Sandi: Drama Kiai-Santri yang Telat Panas
CNN Indonesia | Senin, 18/03/2019 06:01 WIB
Ma'ruf Amin dan Sandiaga Uno di debat cawapres pilpres 2019. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Jakarta, CNN Indonesia -- Debat Cawapres yang mempertemukan Ma'ruf Amin dan Sandiaga Uno berjalan adem ayem. Debat ketiga pilpres 2019 itu baru menyentak publik saat kedua kandidat mengutarakan pernyataan penutup.
Ma'ruf dan Sandi yang sepanjang debat tampil tenang, tiba-tiba saling melontarkan sindiran. Sandi memulai 'perang sindiran' dengan aksi pamer kartu tanda penduduk (KTP).
Di ujung pernyataan penutup, Sandi berjanji menghadirkan pendidikan yang baik, lapangan kerja yang luas, dan jaminan kesehatan yang merata.
Sandi langsung memberi komando kepada pendukungnya untuk mengeluarkan KTP. Ia menegaskan tak butuh banyak kartu, cukup KTP, untuk menghadirkan layanan terbaik bagi masyarakat.
"Mari kita ambil dompet masing-masing, keluarkan kartu yang sudah dimiliki yaitu kartu tanda penduduk. Ini super canggih, sudah memiliki chip," ujar Sandi sembari mengacungkan KTP.
Para pendukung 02 pun mengacungkan KTP masing-masing sambil berdiri.
"Dengan big data semua fasilitas layanan baik tenaga kerja, kesehatan, semua hanya membutuhkan KTP ini yang menjadi kartu kami," lanjut dia.
Aksi tak kalah heboh juga datang dari Ma'ruf. Dalam kalimat penutup ia bersumpah memerangi hoaks.
Ma'ruf sempat menyinggung beberapa hoaks yang menyudutkan Jokowi, seperti legalisasi zina dan pelarangan azan.
"Saya bersumpah demi Allah, selama hidup saya akan lawan upaya-upaya yang akan melakukan itu semua," ucapnya.
Pengamat komunikasi politik Silvanus Alvin menilai dua gimmick itu menunjukkan pesan terselubung yang menjadi sorotan masing-masing kandidat.
"Itu pesan terselubung untuk menyampaikan ke publik kalau bagi kubu 01, mereka kerap diserang hoaks. Sementara, sebaliknya pesan terselubung Sandi mengkritik kartu-kartu petahana," kata Alvin kepada CNNIndonesia.com, Minggu (17/3).
Alvin menilai dua aksi itu menunjukkan kandidat bermain aman dan telat panas. Mereka menyimpan keseruan di detik akhir.
Padahal pernyataan penutup Ma'ruf dan Sandi sebenarnya inti dari pertarungan wacana antara 01 dan 02 selama ini.
"Esensi keseruan debat sebenarnya malah muncul di poin penutup itu dengan gimmick politik tersebut. Ada serangan politik dari kedua pihak," tuturnya.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago debat yang datar terjadi karena kedua kandidat bermain aman.
Baik Ma'ruf dan Sandi tak ada yang secara langsung melakukan serangan seperti Jokowi vs Prabowo. Keduanya lebih memilih menggunakan sindiran-sindiran halus.
"Mereka tidak ada yang menyerang karena mereka berlomba soal kesantunan," ucap Pangi kepada CNNIndonesia.com, Minggu (17/3).
Drama Kiai vs Santri
Alvin menilai Debat Cawapres lebih adem ketimbang dua debat sebelumnya karena ada gimmick kiai yang diperankan Ma'ruf dan santri yang diperankan Sandi.
Keduanya memainkan bahasa tubuh saling menghormati layaknya guru dan murid saat proses belajar-mengajar.
"Ketika Ma'ruf bicara, tampak sandi memperhatikan seksama dan mencatat. Berbeda ketika Sandi bicara, Ma'ruf hanya mendengar ibarat guru yang mendengar murid presentasi di depan kelas," Alvin menjelaskan.
Sandi dinilai menang dari segi gimmick politik dalam debat kali ini. Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta itu dianggap berhasil tampil dengan pembawaan yang sangat tenang. Ia bisa memaparkan gagasan layaknya CEO yang sedang mempresentasikan perusahaannya.
Sandi juga dinilai Alvin menang karena berhasil menampilkan sosok muda yang sopan terhadap ulama. Terlihat dari bahasa tubuh Sandi saat hendak berbicara.
Ia selalu menundukkan kepala ke arah Ma'ruf seraya meminta izin. Saat mendebat pun Sandi meminta maaf terlebih dulu kepada Ma'ruf.
"Patut diakui pula, secara gimmick politik Sandiaga menurut saya lebih unggul, dia lebih ekspresif," ujarnya.
Sementara Pangi menilai Ma'ruf mampu tampil mengejutkan. Berkat penampilannya di debat pertama, publik meragukan Ma'ruf bisa tampil lepas.
Namun di debat kali ini, Ma'ruf bisa memaparkan gagasan secara jelas dan lugas. Meski beberapa kali terbata dan harus mencontek kertas di genggamannya.
"Beliau tidak punya beban, kalau pas sama Pak Jokowi memang tidak banyak bicara. Tadi beliau bebas bicara apapun," jelas Pangi.
Pemilihan kata Ma'ruf pun begitu mencerminkan keilmuan dan posisinya sebagai ulama. Selain membacakan serentetan ayat dan hadis, Ma'ruf juga menggunakan bahasa agamis seperti kata "bersyukur".
"Lebih sejuk, kritik diungkapkan dengan bijak. Pak Ma'ruf lebih banyak mensyukuri kinerja pemerintah saat ini," Pangi berucap.
Ma'ruf dan Sandi yang sepanjang debat tampil tenang, tiba-tiba saling melontarkan sindiran. Sandi memulai 'perang sindiran' dengan aksi pamer kartu tanda penduduk (KTP).
Di ujung pernyataan penutup, Sandi berjanji menghadirkan pendidikan yang baik, lapangan kerja yang luas, dan jaminan kesehatan yang merata.
Sandi langsung memberi komando kepada pendukungnya untuk mengeluarkan KTP. Ia menegaskan tak butuh banyak kartu, cukup KTP, untuk menghadirkan layanan terbaik bagi masyarakat.
"Mari kita ambil dompet masing-masing, keluarkan kartu yang sudah dimiliki yaitu kartu tanda penduduk. Ini super canggih, sudah memiliki chip," ujar Sandi sembari mengacungkan KTP.
Para pendukung 02 pun mengacungkan KTP masing-masing sambil berdiri.
"Dengan big data semua fasilitas layanan baik tenaga kerja, kesehatan, semua hanya membutuhkan KTP ini yang menjadi kartu kami," lanjut dia.
Aksi tak kalah heboh juga datang dari Ma'ruf. Dalam kalimat penutup ia bersumpah memerangi hoaks.
Ma'ruf sempat menyinggung beberapa hoaks yang menyudutkan Jokowi, seperti legalisasi zina dan pelarangan azan.
"Saya bersumpah demi Allah, selama hidup saya akan lawan upaya-upaya yang akan melakukan itu semua," ucapnya.
Pengamat komunikasi politik Silvanus Alvin menilai dua gimmick itu menunjukkan pesan terselubung yang menjadi sorotan masing-masing kandidat.
"Itu pesan terselubung untuk menyampaikan ke publik kalau bagi kubu 01, mereka kerap diserang hoaks. Sementara, sebaliknya pesan terselubung Sandi mengkritik kartu-kartu petahana," kata Alvin kepada CNNIndonesia.com, Minggu (17/3).
Alvin menilai dua aksi itu menunjukkan kandidat bermain aman dan telat panas. Mereka menyimpan keseruan di detik akhir.
Padahal pernyataan penutup Ma'ruf dan Sandi sebenarnya inti dari pertarungan wacana antara 01 dan 02 selama ini.
"Esensi keseruan debat sebenarnya malah muncul di poin penutup itu dengan gimmick politik tersebut. Ada serangan politik dari kedua pihak," tuturnya.
Sandiaga Uno cium tangan Ma'ruf Amin di debat cawapres pilpres 2019. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
|
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago debat yang datar terjadi karena kedua kandidat bermain aman.
Baik Ma'ruf dan Sandi tak ada yang secara langsung melakukan serangan seperti Jokowi vs Prabowo. Keduanya lebih memilih menggunakan sindiran-sindiran halus.
"Mereka tidak ada yang menyerang karena mereka berlomba soal kesantunan," ucap Pangi kepada CNNIndonesia.com, Minggu (17/3).
Drama Kiai vs Santri
Alvin menilai Debat Cawapres lebih adem ketimbang dua debat sebelumnya karena ada gimmick kiai yang diperankan Ma'ruf dan santri yang diperankan Sandi.
Keduanya memainkan bahasa tubuh saling menghormati layaknya guru dan murid saat proses belajar-mengajar.
"Ketika Ma'ruf bicara, tampak sandi memperhatikan seksama dan mencatat. Berbeda ketika Sandi bicara, Ma'ruf hanya mendengar ibarat guru yang mendengar murid presentasi di depan kelas," Alvin menjelaskan.
Sandi dinilai menang dari segi gimmick politik dalam debat kali ini. Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta itu dianggap berhasil tampil dengan pembawaan yang sangat tenang. Ia bisa memaparkan gagasan layaknya CEO yang sedang mempresentasikan perusahaannya.
Sandi juga dinilai Alvin menang karena berhasil menampilkan sosok muda yang sopan terhadap ulama. Terlihat dari bahasa tubuh Sandi saat hendak berbicara.
Ia selalu menundukkan kepala ke arah Ma'ruf seraya meminta izin. Saat mendebat pun Sandi meminta maaf terlebih dulu kepada Ma'ruf.
"Patut diakui pula, secara gimmick politik Sandiaga menurut saya lebih unggul, dia lebih ekspresif," ujarnya.
Lihat juga:TKN: Sandi Necis Tapi Tidak Pahami Persoalan |
Sementara Pangi menilai Ma'ruf mampu tampil mengejutkan. Berkat penampilannya di debat pertama, publik meragukan Ma'ruf bisa tampil lepas.
Namun di debat kali ini, Ma'ruf bisa memaparkan gagasan secara jelas dan lugas. Meski beberapa kali terbata dan harus mencontek kertas di genggamannya.
"Beliau tidak punya beban, kalau pas sama Pak Jokowi memang tidak banyak bicara. Tadi beliau bebas bicara apapun," jelas Pangi.
Pemilihan kata Ma'ruf pun begitu mencerminkan keilmuan dan posisinya sebagai ulama. Selain membacakan serentetan ayat dan hadis, Ma'ruf juga menggunakan bahasa agamis seperti kata "bersyukur".
"Lebih sejuk, kritik diungkapkan dengan bijak. Pak Ma'ruf lebih banyak mensyukuri kinerja pemerintah saat ini," Pangi berucap.